Syiar Islam

Blog ini berisi sirah atau sejarah atau kisah-kisah islam yang mengispirasi, renungang, amalan, serta kesehatan

Saturday 5 May 2018

Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”

Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”

Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”

Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil

Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.

Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alalfalaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Makam Bilal Bin Rabah Radhiallahu'anhu di Amman, Jordan
Makam Bilal Bin Rabah Radhiallahu'anhu di Amman, Jordan

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.

Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”

AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”

Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”

Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Disalin dari Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
Artikel www.KisahMuslim.com

Friday 30 March 2018

Muhammad al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.

Sultan Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, ia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.
Rumeli Hisari Fortress, Bosphorus, Istanbul, Turkey
Rumeli Hisari Fortress, Bosphorus, Istanbul, Turkey


Karakter Pemimpin Yang Ditanamkan Sejak Kecil

Muhammad al-Fatih dilahirkan pada 27 Rajab 835 H/30 Maret 1432 M di Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia adalah putra dari Sultan Murad II yang merupakan raja keenam Daulah Utsmaniyah.

Sultan Murad II memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anaknya. Ia menempa buah hatinya agar kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Perhatian tersebut terlihat dari Muhammad kecil yang telah menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz, mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu falak, dan strategi perang. Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai bahasa, seperti: bahasa Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Tidak heran, pada usia 21 tahun Muhammad sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, dan Yunani, luar biasa!

Walaupun usianya baru seumur jagung, sang ayah, Sultan Murad II, mengamanati Sultan Muhammad memimpin suatu daerah dengan bimbingan para ulama. Hal itu dilakukan sang ayah agar anaknya cepat menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar di kemudian hari. Bimbingan para ulama diharapkan menjadi kompas yang mengarahkan pemikiran anaknya agar sejalan dengan pemahaman Islam yang benar.

Menjadi Penguasa Utsmani

Sultan Muhammad II diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Program besar yang langsung ia canangkan ketika menjabat sebagai khalifah adalah menaklukkan Konstantinopel.

Langkah pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan cita-citanya adalah melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Ia memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya. Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer.

Menaklukkan Bizantium

Sultan Muhammad II juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan mengepung Konstantinopel dari darat. Pada saat mengepung benteng Bizantium banyak pasukan Utsmani yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut. Pengepungan yang berlangsung tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Utsmani, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.

Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula. Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.

Akhirnya Sultan Muhammad menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut. Ide ini mirip dengan yang dilakukan oleh para pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10, para pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi. Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam.

Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.
Tanduk Emas atau Golden Horn
Tanduk Emas atau Golden Horn
Peperangan dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan Bizantium itu akhirnya diserang oleh orang-orang yang tidak takut akan kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum muslimin. Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur. Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itulah ia dikenal dengan nama Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel.

Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid. Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan menjadi Istanbul
Peradaban Yang Dibangun Pada Masanya

Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri.

Sultan Muhammad juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari

Wafatnya Sang Penakluk
 

Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan. Dokter pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, Allahu a’lam.

Tidak ada keterangan yang bisa dijadikan sandaran kemana Sultan Muhammad II hendak membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.

Sebelum wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.

Semoga Allah membalas jasa-jasamu wahai Sultan Muhammad al-Fatih…

Source : Muhammad al-Fatih, Penakluk Konstantinopel

Tuesday 20 March 2018

Alkisah, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai penggembala domba. Jumlah domba yang dia gembalai berjumlah ratusan ekor. Bertahun-tahun dia bekerja tanpa pernah mengeluh meski hasil jerih payahnya tak seberapa.

Suatu ketika, datang seorang musafir yang sangat kehausan setelah menempuh perjalanan jauh. Melihat ada pengembala domba tersebut, gembiralah hati musafir itu. Sang musafir meminta minum kepada si pemuda penggembala tersebut. Namun, pemuda itu menjawab bahwa dirinya tak punya air minum untuk diberikan kepada si musafir.

Musafir tersebut kemudian memohon memelas agar diizinkan mengambil air susu dari seekor domba yang digembalakan si pemuda itu. Pemuda tersebut menolak dengan halus. “Ayolah, saudaraku. Tolonglah aku. Aku sangat haus. Izinkan aku untuk memerah dombamu sekadar beberapa teguk untuk menghilangkan dahagaku,” ujar sang musafir. Pemuda itu menjawab, “Domba-domba ini bukan kepunyaanku, aku tak berani mengizinkan engkau sebelum majikanku mengizinkannya.”

Pemuda mengatakan, “Kalau kau mau, tunggulah di sini sebentar. Kucarikan telaga dan kuambilkan air untukmu, saudaraku.” Kemudian, pergilah pemuda tersebut mencarikan air untuk sang musafir. Setelah dapat, diberikannya air itu kepada si musafir. “Alhamdulillah, segar sekali rasanya,” kata sang musafir. “Terima kasih wahai anak muda,” lanjut musafir itu.

Kemudian, mereka sejenak beristirahat sambil berbagi kisah. Siang semakin terik. “Mengapa kau tadi tidak ikut minum,” tanya musafir kepada pemuda tadi. “Maaf, saya sedang berpuasa,” jawab si pemuda. Musafir itu tercengang mendengar pengakuan pemuda tersebut. “Matahari semakin tinggi, sedangkan engkau berpuasa?” tanya musafir itu penuh tanya. Pemuda itu menjawab, “Aku berharap kelak mudah-mudahan Allah menaungi diriku pada saat hari kiamat nanti. Karena itu, aku berpuasa.”
Bolehkah Aku Membeli Seekor Saja Dombamu

Rasa kagum dan penasaran membuat si musafir ingin mengetes keimanan sang pemuda penggembala tersebut. Lalu, musafir itu berkata, “Hai anak muda, bolehkah aku membeli seekor saja dombamu. Aku lapar, tolonglah aku.”

“Maaf tuan, aku tidak berani sebelum mendapat izin dari majikanku,” kata pemuda itu.

“Ayolah anak muda. Domba yang kau gembalakan sangat banyak. Tentulah tuanmu tidak akan mengetahui meski kau jual seekor saja. Perutku sangat lapar, tolonglah aku,” rayu musafir tersebut.

“Aku sungguh ingin menolongmu. Kalau saja aku memiliki makanan, tentu akan kuberikan untukmu, tuan. Tapi, tolong jangan paksa aku untuk melakukan hal yang tak mungkin aku lakukan tuan,” ucap pemuda tersebut.

“Tidak akan ada yang tahu hai anak muda. Kuberikan seribu dirham untukmu untuk seekor domba saja. Ayolah. Tidakkah kau kasihan kepadaku?” kata musafir itu yakin bahwa pemuda tersebut akan goyah dengan suap seribu dirham.

Musafir itu terus memaksa si pemuda untuk menjual seekor dombanya. Bahkan, musafir itu tambah gusar dan marah.
Akhirnya, pemuda itu berkata, “Majikanku bisa saja tidak tahu jikalau aku menjual seekor dombanya. Sebab, jumlahnya sangat banyak. Dan mungkin saja, majikanku tidak akan menanyakan domba-dombanya. Dia tidak akan rugi meski aku menjual seekor di antara domba kepunyaanya. Tapi, kalau aku berbuat begitu, lalu di mana Allah? Di mana Allah? Di mana Allah? Sungguh, aku tak mau di dalam dagingku tumbuh duri neraka karena uang yang tidak halal bagiku.”

Pemuda itu menangis karena takut tergoda berbuat sesuatu yang dimurkai Allah. Dia menangis karena kecintaanya kepada Allah.

Musafir tersebut tertegun. “Allahu akbar!!” musafir itu ikut menangis.

“Katakan padaku wahai anak muda, di mana majikanmu tinggal. Aku ingin membeli seekor dombanya,” kata musafir tersebut.

Setelah mendapat jawaban tentang tempat tinggal majikan pemuda tadi, musafir itu memberikan uang seribu dirham tadi kepada si pemuda. “Terimalah uang ini untukmu, anakku. Ini uang halal. Kau pantas mendapatkan lebih daripada ini. Hatimu begitu mulia.” Sang musafir yang tak lain adalah Khalifah Umar bin Khattab bergegas menuju ke rumah majikan sang pemuda tadi. Lalu, ditebuslah pemuda itu dengan memerdekakannya dari status hamba sahaya.

Kisah lainnya : Abdul-Malik : Wahai Ayah, Siapa yang Menjamin Engkau Akan Masih Hidup Sampai Waktu Zuhur?

Dalam lanjutan perjalanannya, Umar masih takjub dengan kisah yang baru dia alami.

Di mana Allah? Inilah kalimat yang menggetarkan hati Umar. Rasa takut kepada Allah tidak menggoyahkan iman seorang pemuda tadi meski dirayu dengan materi. Duniawi tidak mampu menyilaukan hati pemuda itu karena keteguhan iman yang hakiki.

Sumber :  Bolehkah Aku Membeli Seekor Saja Dombamu

Monday 5 March 2018

Disfungsi khalifah Doktor Studi Islam University of Leiden Belanda Ali Mufrodi dalam buku yang berjudul Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menjelaskan, pada abad ke-20 nasionalisme Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Ataturk tumbuh di wilayah Ustmani atau Turki Ottoman.

Nasionalisme Turki menyebabkan Kerajaan Ustmani terpuruk dari panggung sejarah pada 1924 dan digantikan dengan Turki modern yang berbentuk republik yang sekuler. Saat itu, Mustafa Kemal berpendapat dalam sidang Majelis Nasional Agung tahun 1922, jabatan sultan dan khalifah terpisah dalam sejarah. Khalifah berada di Baghdad, sedangkan sultan di daerah.

Maka, jabatan yang dipegang oleh penguasa Turki harus dipisah, sultan dihilangkan, tapi khalifah dipertahankan.

Usul tersebut diterima oleh Majelis Nasional Agung pada 1 November 1922, sehingga raja Turki hanya bergelar khalifah yang mengurusi masalah spiritual saja tanpa berkuasa atas urusan duniawi.

Sultan Muhammad VI Wahiduddin tidak setuju terhadap keputusan Majelis Nasional tersebut, sehingga dituduh sebagai pengkhianat oleh pihak nasionalis. Ia kemudian meninggalkan Istanbul. Sementara itu, kaum nasionalis mengangkat saudara sepupu Wahiduddin, yakni Abdul Majid sebagai khalifah.
Mustafa Kemal
Mustafa Kemal

John Freely dalam tulisannya yang berjudul Inside the Seraglio menuturkan, setelah Majelis Nasional Agung Turki menghapus kesultanan pada 1 November 1922, Sultan Mehmed diusir dari Konstantinopel. Ia meninggalkan Turki menggunakan kapal-kapal perang Inggris Malaya pada 17 November. Ia pergi ke pengasingan di Malta. Mehmed kemudian tinggal di Riviera, Italia.

Dengan penghapusan jabatan Sultan, dualisme kepemimpinan duniawi sudah tidak ada lagi. Kedaulatan berada di tangan Majelis Nasional Agung dan kekuasaan eksekutif berada di bawah Majelis negara. Khalifah Abdul Majid hanya berkedudukan sebagai lambang bagi Turki yang bersifat Islam.

Masalah yang muncul setelah itu ialah mengenai bentuk negara. Karena kedaulatan Turki sudah berada di tangan rakyat menurut Konstitusi 1921, negara harus berbentuk republik sebagaimana dikehendaki para tokoh nasionalis. Tetapi, kelompok Islam tidak setuju.

Mereka masih mempertahankan bentuk khilafah daripada bentuk lain. Majelis Nasional Agung memutuskan dalam sidangnya pada 29 Oktober 1923 bahwa Turki menjadi republik dan megangkat Mustafa Kemal menjadi presiden yang pertama.

Meskipun keputusan tersebut tidak disetujui oleh golongan Islam, mereka merasa puas dengan usulannya bahwa Islam adalah agama negara.

Dengan pengangkatan Mustafa Kemal menjadi presiden Turki maka terjadilah dualisme kepemimpinan di Turki. Di satu pihak, Abdul Majid sebagai khalifah didukung oleh umat Islam di Turki dan umat Islam di dunia yang ingin tetap mempertahankan khalifah.

Mustafa Kemal ingin menghapuskan jabatan khalifah dengan alasan bahwa jabatan tersebut merupakan milik umat Islam seluruh dunia. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika dibebankan hanya kepada Turki. Maka, ia mengusulkan supaya jabatan khalifah dihapuskan dari Turki yang sudah menjadi republik.

Dari hari ke-hari, kedudukan Mustafa Kemal semakin kuat di mata rakyat. Dalam kedudukannya sebagai panglima dari semua pasukan yang ada di Turki selatan Mustafa Kemal membentuk pemerintahan tandingan di Anatolia sebagai imbangan terhadap kekuasaan Sultan Abdul Majid II di Istanbul. Hal ini dilakukannya karena ia melihat Sultan sudah berada di bawah kekuasaan sekutu.

Majelis Nasional Agung dalam sidang sejak Februari 1924 membicarakan hal tersebut dengan perdebatan yang sengit dan akhirnya memutuskan untuk menghapus jabatan khalifah pada 3 Maret 1924. Abdul Majid II yang menjabat khalifah dipersilakan meninggalkan Turki. Ia bersama keluarganya menuju Swiss. Dengan demikian, dualisme kepemimpinan di Turki dapat teratasi. 

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Sunday 4 March 2018

Upaya menghancurkan Kekhalifahan Utsmani terus disusun Barat. Konspirasi untuk memaksa Sultan Abdul Hamid II, sultan terakhir Khalifah Utsmani untuk turun dari takhta pun gencar dilakukan. Bangsa Yahudi yang berulang kali diusir karena ngotot ingin tinggal di tanah Palestina berada di balik konspirasi tersebut.

Masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II dipenuhi dengan berbagai macam konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah upaya-upaya sistematis yang dilakukan kaum Yahudi untuk mendapatkan tempat tinggal permanen di tanah Palestina, yang pada masa dirinya berkuasa, wilayah itu merupakan bagian dari wilayah kekhalifahan Turki Utsmani.

Sebagaimana dikisahkan dalam buku “Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II” karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina. Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab sultan dengan tegas.

Pemerintah Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.

Kedua, Theodor Hertzl, si Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di Al-Quds. Permohonan itu dijawab Sultan dengan penolakan.

“Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri,” tegas Sultan.

Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah.

pasukan turki utsmani
Prajurit Ottoman yang berhasil mempertahankan Gaza dalam pertempuran pertama di Gaza.
Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina. Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut.

Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; membayar semua utang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; memberi pinjaman lima juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.

Namun, semuanya ditolak Sultan. Bahkan, Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, “Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam.”

“Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya.”

“Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya.

“Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggung jawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini, di Istanbul,” tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID
3 Maret 1924, khalifah terakhir itu resmi dibubarkan. Hari ini, 94 tahun silam Khalifah Utsmani atau Kesultanan Turki Ustmani (Ottoman) runtuh. Islam yang pernah berjaya di Eropa dan menguasai dua per tiga dunia dihapuskan dalam tata dunia pada 3 Maret 1924. Sejak itu, umat Islam tidak lagi dinaungi khilafah dan tercerai berai menjadi lebih dari 50 negara. Umat Islam seperti tidak punya tempat mengadu setelah terpecah.
Khalifah Utsmaniyah
Ilustrasi suasana di Kerajaan Ottoman.
Kekhalifan Islam terakhir itu dihancurkan secara sistematis oleh negara-negara Barat yang memupuk dendam dengan Khilafah yang didirikan ErtuÄŸrul Gazi tersebut. Kita mulai dari sultan Kekhalifahan Utsmani terakhir sebelum berganti menjadi Republik Turki, yakni Sultan Abdul Hamid II.

Kejayaan Islam di Eropa ditandai dengan berkembangnya kedaulatan Khalifah Utsmani yang selama berabad-abad berhasil menancapkan pengaruhnya di Eropa Timur, Balkan, dan Mediterania. Namun, pada akhir abad ke-19 M, pengaruh itu berangsur pudar. Menjelang masa-masa kejatuhan kekhilafahan Islam terakhir ini, muncul pemimpin Kesultanan Turki Utsmani yakni Sultan Abdul Hamid II.

Dengan segala daya yang ada, ia mencoba untuk terus mempertahankan tegaknya ajaran Islam di wilayah kekuasaannya dari berbagai macam bahaya yang mengancam, khususnya kekuatan Barat dan Yahudi. Sultan Abdul Hamid II dilahirkan di Istanbul, Turki, pada Rabu, 21 September 1842. Nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin Abdul Majid bin Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad.

Dia adalah putra Abdul Majid dari istri kedua. Ibunya meninggal dunia saat Abdul Hamid berusia tujuh tahun. Sultan Hamid II menguasai bahasa Turki, Arab, dan Persia. Ia juga dikenal senang membaca dan bersyair. Abdul Hamid menjadi khalifah Turki Utsmani menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada 1876. Pamannya yang berkuasa cukup lama ini diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah, kemudian dibunuh musuh politik Kesultanan Turki Utsmani.

Sang paman mewariskan negara dalam kondisi yang carut-marut. Tunggakan utang luar negeri, parlemen yang mandul, campur tangan asing di dalam negeri, tarik-menarik antarberbagai kepentingan di dalam tubuh pemerintahan, serta birokrat-birokrat yang korup.

Tak lama setelah naik takhta, dia mendirikan Dewan Majelis Rendah. Anggota dewan ini ada yang dipilih dan ada pula yang anggotanya ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Dewan yang anggotanya dipilih dinamakan Dewan Mab'utsan, sedangkan dewan yang anggotanya ditentukan oleh pemerintah namanya A'yan.

Sebagai seorang pemimpin, Sultan Hamid II dikenal dekat dengan ulama dan selalu menaati nasihat-nasihat mereka. Dia menganggap semua rakyat sama di hadapan undang-undang, juga memberikan kebebasan pers. Dia membuat peraturan wajib belajar kepada semua rakyat. Semasa memerintah, ia menghapus peraturan yang memperbolehkan polisi untuk menyiksa tahanan dalam masa investigasi dan menghapuskan peraturan pengambilan paksa tanah milik rakyat dan kerja paksa.

Dia juga menolak untuk memecat seorang hakim tanpa alasan yang benar. Selain itu, dia juga memberantas korupsi dan suap. Dia sangat serius dalam menerapkan hukum yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam hal kemaslahatan umat, Sultan Abdul Hamid II mengajak umat untuk mendirikan sebuah universitas Islam. Ia juga memerintahkan pendirian sekolah-sekolah, rumah-rumah dinas bagi para dosen, akademi politik dan kesenian wanita, museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, sekolah kedokteran, rumah sakit spesialis anak, perumahan bagi orang-orang yang tidak mampu, kantor pos pusat, ruang-ruang pertemuan, beberapa organisasi petani dan buruh serta pabrik-pabrik keramik. Selain itu, dia juga memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air minum.

Source : REPUBLIKA.CO.ID

Sunday 14 January 2018

Nasab Rasulullah SAW

Pembahasan tentang nasab Rasulullah bisa di bagi menjadi tiga. Pertama, bagian yang disepakati oleh seluruh sejarawan dan ahli nasab, yaitu bagian nasab yang bermula dari Muhammad SAW sampai Adnan. Kedua, bagian yang diperselisihkan dan sulit dikompromikan, yaitu bagian nasab yang bermula dari Adnan sampai Ibrahin A.S. Sabagian sejarawan dan ahli nasab memilih untuk tidak membahas bagian ini. Sebagian lainnya tetap membahasnya. Namun, kelompok yang membahasnya pun berbeda pendapat tentang jumlah berikut nama-nama moyang Rasulullah SAW itu. Pendapat mereka amat beragam, ada sampai 30 macam pendapat. Hanya saja, semua sepakat bahwa Adnan jelas-jelas merupakan keturunan Ismail A.S.

Inilah nasab bagian pertama yang disepakati oleh seluruh sejarawan dan ahli nasab yaitu : Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Muthalib. Nama asli Abdul Muthalib adalah Syaibah bin Hasyim. Nama Hasyim sendiri adalah Amr ibn Abdul Manaf, sedangkan nama Asli Abdul Manaf adalah al-Mughirah ibn Qushay. Nama asli Qushay adalah Zaid ibn Kilab, ibn Murrah, ibn Ka’ab, ibn Lu’ay, ibnu Ghalib, ibn Fihr (Fihr inilah yang dijuluki Quraisy dan menjadi nama kabilah), ibn Malik, ibn Nadhar (nama aslinya Qais) ibn Kinanah, ibn Khuzaimah, ibn Mudrikah (nama aslinya Amir), ibn Ilyas, ibn Mudhar, ibn Nizar, ibn Ma’ad, ibn Adnan.

Keluarga Rasulullah SAW

Keluarga Rasulullah SAW lazim disebut keluarga Hasyimiyah, dinisabkan kepada kakek beliau, Hasyim ibn Abdul Manaf. Karena itu, akan saya paparkan sedikit tentang hal-ihwal Hasyim dan keturunannya.

1. Hasyim

Hasyim semasa hidupnya merupakan pemegang hak Siqayah dan rifadah dari keluarga Bani Abdul Manaf. Kewenangan ini di dapatkan ketika Bani Abdul Manaf dan Bani Abdud Dar menyepakati pembagian wewenang di antara mereka.  Hak Siqayah adalah Hak memenuhi bak-bak air minum untuk jama’ah haji dan membuat airnya berasa manis dengan memakai kurma atau anggur sehingga bisa diminum oleh para peziarah Mekah. Sedangkan Hak rifadah (menjamu jamaah haji), yaitu membuat makanan untuk dihidangkan khusus bagi jamaah haji.

Hasyim dikenal sebagai orang berada lagi mulia. Dialah orang yang pertama yang membuat tsarid (makanan yang terbuat dari remah roti bercampur kuah) untuk jamaah haji di Mekah. Sebenarnya, nama Hasyim yang sesungguhnya adalah Amr. Ia disebut Hasyim (si penumbuk roti) karena suka menumbuk roti untuk dibuat tsarid.

Dia pula yang merintis dua rute ekspedisi dagang dua kali setahun, dan diikuti oleh suku Quraisy lainnya, yakni ekspedisi musim dingin dan panas.

Konon Hasyim pernah ke Syam untuk berdagang, lalu singgah di Madinah. Di situ dia menikahi Salma binti Amr dari Bani Adi ibn Najjar dan menetap salama beberapa waktu. Selanjutnya dia meneruskan perjalanannya ke Syam dan meninggalkan Salma dalam keadaan hamil. Ternyata Hasyim akhirnya meninggal di Gaza, Palestina. Sedangkan istrinya melahirkan pada 497 M. Bayi itu di namai Syaibah (yang beruban) karena di rambutnya tumbuh uban. Salma mengasuh bayinya di rumah ayahnya Yatsib. Tidak satu pun keluarga bani Hasyim di Mekah yang mengetahui hal ini.

Hasyim memiliki empat anak lelaki : Asad, Abu Shaifi, Nadhlah, dan Abdul Muthalib dan lima anak perempuan : Asy-Syifa’, Khalidah, Dhaifah, Ruqayyah dan Jannah.

2. Abdul Muthalib

Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa siqayah dan rifadah sepeninggal Hasyim dipegang oleh saudarnya, Muthalib ibn Abdul Manaf. Lelaki ini dikenal sebagai panutan yang memiliki kedudukan yang mulia di antara kaumnya. Suku Quraisy memberi gelar al-Fayyadh (si dermawan) karena kemurahan hatinya. Ketika Syaibah berusia sekitar 7-8 tahun, Muthalib baru mengetahui keberadaannya. Berangkatlah ia untuk menjumpai keponakannya itu. Begitu bertemu, air mata haru membasahi pipi Muthalib. Dia mendekap bocah itu dan mengajaknya naik kendaraanya. Namun, syaibah menolak sebelum mendapat izin dari ibunya. Karena itu, Muthalib mendatangi sang ibu dan memintakan izin. Awalnya si ibu menolak, tetapi  Muthalib terus membujuk. Katanya, “Dia akan mengunjungi tanah kelahiran ayahnya dan ke tanah suci.” Akkhirnya, si ibu memeberi izin.
kabah baitulla di mekah
Ka'bah Baitullah di Mekah

Singkat cerita, sampailah Syaibah di Mekah dengan menunggang untuk Muthalib. Saat melihatnya, orang-orang berkata, “ini dia Abdul Muthalib (Budak Muthalib)

Muthalib menjawab, “Bukan ini keponakanku, putra saudaraku Hasyim.

Namun, anak itu terlanjur di kenal dengan nama Abdul Muthalib dan tinggal bersama Muthalib hingga dewasa.

Muthalib akhirnya meninggal di Ramdan di wilayah Yaman. Sejak saat itu dia digantikan oleh keponakannya, Abdul Muthalib. Lelaki ini tinggal di antara kaumnya sebagaimana yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Dia berhasil mencapai kemuliaan yang belum pernah dicapai oleh orang-orang sebelumnya. Dia dicintai dan dimuliakan oleh kaumnya.

Saat Muthalib meninggal, Naufal merampas rumah, kekuasaan, dan harta benda Abdul Muthalib. Abdul Muthalib minta bantuan tokoh-tokoh Quraisy untuk menghadapi pamannya itu. Namun, mereka mengatakan, 
“kami tidak mau mencampuri urusanmu dengan pamanmu.”
Dia pun mengirim surat kepada paman-pamannya dari jalur ibunya dari Bani Najjar untuk meminta tolong. Dalam waktu singkat, berangkatlah pamannya, Abu Sa’ad ibn Adi, bersama 80 pasukan berkuda. Sewaktu mereka sampai di perbatasan Mekah, Abdul Muthalib menemui pamannya dan berkata, “Singgah dulu, Paman.”

“Tidak, sampai aku bertemu dengan Naufal!” jawab pamannya.

Abu Sa’ad ibn Adi mencari Naufal dan menemukannya sedang duduk-duduk di Hijir bersama beberapa pembesar Quraisy. 
Sa’ad langsung menghunus pedangnya seraya berkata, “Demi Tuhan Ka’bah, jika engkau tidak mengembalikan harta benda keponakanku, pedang ini yang akan memaksamu!”

“Aku akan mengembalikannya,” jawab Naufal. Ucapannya disaksikan oleh para pemuka Quraisy yang hadir di situ.

Abu Sa’ad singgah dan bermalam di rumah Abdul Muthalib selama tiga hari. Setelah menyempatkan berumrah, diapun kembali ke Madinah.

Akan halnya Naufal, sesudah kejadian itu dia mengikat perjanjian dengan seluruh Bani Abdul Syams ibn Abdul Manaf untuk mengalahkan Bani Hasyim. Di lain pihak, Bani Khuza’ah yang melihat Bani Najjar membantu Abdul Muthalib berkata, “Darah kami juga mengalir dalam dirinya sebagaimana darah kalian mengalir dalam dirinya. Tentu kami lebih layah menolongnnya.” Mereka berkata begitu karena Abdul Manaf memang berasal dari golongan mereka. Lalu mereka mengadakan perjanjian dengan Bani Hasyim untuk menghadapi Naufal dan Bani Abdul Syams. Ikatan perjanjian inilah salah satu sebab keberhasilan penaklukan kota Mekah di kemudian hari.

Sejumlah peristiwa penting tentang Baitullah yang terjadi semasa Abdul Muthalib adalah sebagai berikut : Penggalian sumur zamzam dan serbuan pasukan gajah. Kisah selengkepanya Klik Disini

3. Abdullah, Ayahanda Rasulullah SAW

Ibu Abdullah bernama Aminah binti Amr, ibn Aidz, ibn Imran, ibn Makhzum, ibn Yaqzhah, ibn Murrah. Abdullah adalah putra Abdul Muthalib yang paling rupawan, saleh, dan paling dicintai ayahnya. Abdullah inilah yang nyaris hendak dikurbankan untuk memenuhi nazar Abdul Muthalib jika ia memiliki sepuluh anak lelaki. Adapun anak laki-laki Abdul Muthalib adalah Harits, Zubair, Abu Thalib, Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, Ghaidaq, Muqawwim, Dhirar, dan Abbas. Sedangkan anak perempuan Abdul Muthalib adalah Ummul Hakim (atau Baidhah’), Barrah, Atikah, Syafiyah, Arwa, dan Umaimah.

Alkisah, ketika anak lelaki genap sepuluh orang, Abdul Muthalib menyampaikan kepada orang-orang Quraisy bahwa dia pernah bernazar untuk mengurbankan salah satunya. Ada yang mengatakan bahwa Abdul Muthalib mengundi sepuluh ananyak, dan ternyata undian jatuh kepada Abdullah. Padahal, dia adalah anak yang paling dia cintai. Lalu Abdul Muthalib berdoa, “Ya Allah, dia ataukah 100 ekor unta yang saya sembelih. “ Lalu dia mengundi lagi. Ternyata undiannya jatuh kepada 100 ekor untanya.

Sejarawan lain meriwatkan bahwa Abdul Muthalib menulis nama anak-anaknya di batang panah dan menaruhnya di depan patung Hubal. Sewaktu di undi, yang keluar adalah nama Abdullah. Maka dia membimbing Abdullah menuju Ka’bah sambil membawa sebilah parang untuk menyembelihnya. Orang-orang  Quraisy yang melihatnya berusaha mecegahnya. Lebih-lebih pamannya dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abdul Thalib. Abdul Muthalib bertanya “Lalu bagaimana dengan nazarku?” Mereka menyarankannya untuk minta pertimbangan dari orang bijak. Orang bijak yang di maksud tadi memberi saran agar nama Abdulllah di undi bersama sepuluh ekor unta. Jika nama Abdullah yang keluar, undian di ulang dengan menambahkan sepuluh unta lagi, dan seterusnya hingga Tuhan meridhainya. Jika keluar dalam undian adalah untanya, barulah dia boleh menyembelihnya. Maka, Abdul Muthalib pulang dan mengundi Abdullah dan sepuluh unta. Ternyata undian jatuh pada Abdullah. Maka dia tambahkan 10 ekor unta. Ternyata undian tetap jatuh pada nama Abdullah. Sewaktu unta yang di pertaruhkan mencapai seratus ekor, barulah undian jatuh kepada unta. Segera saja dia menyembelih unta-unta itu lalu meninggalkannya begitu saja. Tidak ada orang atau hewan yang mendatanginya.

Bila terjadi pembunuhan di antara suku Quraisy, tradisi yang berlaku adalah satu nyawa di tembus dengan sepuluh ekor unta. Sejak saat itu, aturannya berubah menjadi 100 ekor unta perkepala. Aturan ini belakangan diadopsi oleh islam. Di riwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Aku adalah anak dari dua kurba”. Yang beliau maksud adalah Ismail A.S dan ayahanda beliau Abdullah.

Untuk Abdullah, Abdul Muthalib memilih seorang istri bernama Aminah binti Wahab, ibn Abdul Manaf, ibn Zuhrah, ibn Kilab. Dia dikenal sebagai perempuan dengan nasab dan martabat mulia di tengah-tengah suku Quraisy. Ayahnya adalah pemuka Bani Zuhrah.

Pernikahan Abdullah dilaksanakan di Mekah. Tidak lama setelah itu, Abdul Muthalib mengutusnya ke Madinah untuk memanen kurma. Tetapi belakangan dia meninggal di sana. Pendapat lain mengatakan bahwa awalnya Abdullah berniaga ke Syam dan bertemu dengan kafilah dagang Quraisy singgahlah ia di Madinah. Di kota ini ia jatuh sakit sampai meninggal. Jasadnya dimakamkan di Darun Nabighah al-Ja’di. Usianya saat itu baru 25 tahun. Dia meninggal sebelum Rasulullah SAW dilahirkan. 

Abdullah wafat dengan meninggalkan lima ekor unta, beberapa kambing, dan seorang budak perempuan Habasyah bernama Barakah. Perempuan yang biasa di panggil Ummu Aiman inilah yang mengasuh Muhammad.

Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri
Sirah Nabawiyah

Saturday 13 January 2018

Abdul Muthalib mendapatkan mandat untuk mengelola Baitullah menggantikan Pamannya Muthalib yang telah meninggal. Meski sebelumnya Naufal pamanya Abdul Muthalib sempat merampas kekuasaan, rumah dan harta bendanya usai Muthalib meninggal. Namun, akhirnya Baitullah pun menjadi hak untuk Abdul Muthalib untuk mengelolanya.

Semasa Abdul Muthalib menjadi pengelola Baitullah, sejumalah peristiwa penting terjadi di antaranya :

Penggalian Sumur Zamzam


Suatu hari Abdul Muthalib bermimpi diperintahkan menggali sumur zamzam dan sekaligus menjelaskan letak sumur tersebut. Maka dipatuhinya perintah itu sampai berhasil menemukan sumur yang dimaksud. Ternyata di dalam sumur di temukan peninggalan kabilah Jurhum yang sengaja dipendam di sana saat diusir dari Mekah, berupa sejumlah pedang, baju besi, dan dua ikat emas batangan. Dari beberapa pedang tadi Abdul Muthalib membuat pintu Ka’bah, yang lalu dihias dengan lempengan emas temuannya. Dia memegang hak memberi minum jama’ah haji dengan air zamzam.

Kabah Baitullah mekkah
Ka'bah Baitullah, Mekah
Melihat sumur zamzam ditemukan, suku Quraisy menuntut Abdul Muthalib. “Kami harus mendapat hak untuk mengelolanya”
Abdul Muthalib menolak, “Tidak bisa! Ini adalah hak khusus yang di berikan kepadaku.”

Orang-orang Quraisy itu bersikeras. Akhirnya, mereka sepakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengadukannya kepada seorang dukun perempuan dari Bani Sa’ad Hudzaim. Dia tinggal di pinggiran Syam. Di perjalanan, mereka kehabisan air, lalu Allah menurunkan hujan kepada Abdul Muthalib, tetapi tidak menurunkan setetes pun kepada mereka. Tahulah mereka kini akan keistimewaan Abdul Muthalib dengan zamzamnya. Mereka pun memutuskan untuk pulang. Saat itu juga Abdul Muthalib bernazar, jika Allah mengaruniai dia 10 anak lelaki, dia akan mengurbankan salah satunya di hadapan Ka’bah. Ini lah asal muasal kenapa di kemudian hari Abdullah ayahanda dari Rasulullah nyaris di kurbankan. Kisah selengkapnya Klik Disini

Serbuan Pasukan Gajah

Dikisahkan, Abrahah ibn Shabah, gubernur jenderal Najasyi Habasyah di Yaman, melihat orang-orang Arab berhaji ke Ka’bah. Dia lalu membangun sebuah gereja besar di Shan’a dan bermaksud memindahkan haji orang Arab ke sana. Rencana itu didengar oleh seseorang kabilah Kinanah. Maka, malam-malam dilumurinya gereja itu dengan kotoran. Mengetahui hal itu, murkalah Abrahah. Dia menggerahkan pasukan besar-besaran mencapai 60 ribu personel menuju ke Ka’bah dengan maksud untuk merobohkannya. Untuk kendaraannya, dia memilih gajah yang paling besar. Di dalam pasukan itu ada 9 atau 13 ekor gajah. Sesampai di daerah Mughammas, dia menyiagakan pasukannya dan bersiap memasuki Ka’bah. Di Wadi Mashar, daerah antara Muzdalifah dan Mina, gajahnya tiba-tiba berlutut tidak mau memasuki Mekah. Tiap kali mereka arahkan ke selatan, utara, timur hewan itu bangkit dan berjalan. Namun, jika mereka arahkan ke Ka’bah, gajah itu berlutut kembali. 

Saat itulah Allah mengirim burung Ababil untuk membinasakan mereka dengan bebatuan neraka. Serangan itu membuat mereka laksana dedaunan dimakan ulat. Burung itu mirip burung wallet. Setiap burung membawa tiga butir batu. Satu batu di paruhnya, dua lainnya di cengkeram di kedua kaki. Siapapun yang terkena lemparan batu itu akan terlepas anggota tubuhnya dan binasa. Namun, tidak semua yang terkena batu itu tewas ditempat. Ada yang sempat tunggang-langgang, lalu tubuhnya rontok dan meninggal di sembarang tempat. Abrahah sendiri jari-jemarinya lepas satu persatu. Setibanya di Shan’a, tubuhnya bagaikan anak burung yang baru menetes, dadanya terbelah, hatinya terburai dan matilah ia. 

Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Muharram. Ada yang mengatakan 50 hari sebelum kelahiran Rasulullah SAW. Ada yang berpendapat 55 hari, dan ini adalah pendapat mayoritas. Waktunya akhir Februari atau awal Maret tahun 571 M.

Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri
Sirah Nabawiyah

Thursday 11 January 2018

1. Paganisme Bangsa Arab

Mayoritas bangsa Arab sebelum datangnya Islam mereka menganut agama yang di anut oleh Nabi Ibrahim A.S. Hal ini terjadi  sejak keturunannya berkembang di Mekkah dan menyebar ke seantero jazirah. Mereka semua menyembah Allah, mengesakkan-Nya, dan melaksanakan dengan konsisten syariat-syariat agamaNya hingga waktu yang cukup lama.  Namun seiring waktu  berlalu, mereka mulai melupakan syariat yang diajarkan dari agama ini.

Apalagi setelah kepulangan Amr bin Luhay dari Syam yang membawa sesuatu untuk di sembah. Di sanalah awal mula penyembahan berhala. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : 
"Aku melihat Amir ibn Luhay ususnya ditarik di dalam neraka"
Alasannya, karena dialah orang yang pertama kali mengubah agama Ibrahim. Dialah yang mengadakan berhala-berhala. Amir Ibn Luhay (pemimpin kabilah Khuza'ah. Dia gigih menyeru kepada kebaikan, gemar bersedekah, tekun pulan menjalankan perintah agama. Dia di sukai oleh masyarakatnya. Dan mereka tunduk kepadanya dan menyakini bahwa dia termasuk ulama besar dan salah satu wali pilihan Allah.

Suatu ketika dia melakukan perjalanan ke Syam. Di sana dilihatnya penduduk melakukan penyembahan berhala. Diyakininya bahwa hal itu baikdan benar sebab menurutnya Syam adalah tempat diutus para rasul dan tempat turunnya kitab-kitab Allah.

Maka pulanglah dia dengan membawa berhala bernama Hubal. Di taruhnya Hubal di tengah Ka'bah lalu di ajaknya peduduk Mekkah menyekutukan Allah (menyembah berhala). Tidak butuh waktu lama, orang-orang Hijaz juga mengikuti penduduk Mekkah karena mengganggap mereka sebagai penanggungjawab Baitullah dan Tanah Suci.

Di kisahkan Hubal adalah berhala dari batu akik merah. Berbentuk manusia dengan tangan kanan putus. Orang-orang Quraisy mendapatinya sudah dalam keadaan seperti itu lalu mereka menggantikannya dengan tangan baru dari emas. Itulah berhala pertama yang di miliki oleh orang-orang musyrik saat itu, yang paling besar serta paling suci menurut mereka. 

Berhala lain yang paling kuno adalah Manat. Berhala ini milik Bani Hudzail dan Khuza’ah. Dia ditempatkan di Musyallal, di pesisir Laut Merah dekat Qudaid. Musyallal adalah jalan perbukitan yang menurun ke arah Qudaid.

Kemudian ada pula berhala lain yang dinamai Lata dan di tempatkan di Tha’if. Berhala ini milik Bani Tsagif. Lokasinya di sebelah kiri Masjid Tha’if saat ini.

Satu lagi berhala lain bernama Uzza di lembah Nakhlah asy-Syamiyah di atas Dzatu Irqin. Berhala ini milik suku Quraisy, Bani Kinanah, dan sejumlah kabilah lainnya.
Ka'bah Baitullah
Ka'bah Baitullah
Konon Amr ibn Luhay punya pembantu dari kalangan jin. Sang jin memberitahunya bahwa berhala-berhala kaum Nabi Nuh, yakni Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr terkubur di Jeddah. Amr melakukan penelusuran dan penggalian untuk mencari berhala-berhala tersebut. Setelah menemukannya, dibawa keseluruhannya ke Tihamah. Ketika musim haji tiba, berhala-berhala itu di berikannya kepada sejumlah kabilah untuk mereka bawa pulang ke kampong halaman masing-masing. 

Berhala wadd diberikan kepada bani Kalb. Mereka menaruhnya di Jarasy, suatu tempat di Dumatul Jandal yang termasuk wilayah Syam setelah Irak. Berhala Suwa’ berada di tangan Bani Hudail ibn Mudrikah. Mereka menempatkannya di Ruhath, sebuah wilayah Hijaz dari arah pantai dekat Mekkah. Berhala Yaghuts dipegang oleh Bani Ghuthaif dari Bani Murad. Mereka meletakkannya di daerah bernama Hurf di Saba’. Berhala Ya’uq berada di tangan Bani Hamdan yang tinggal di desa Khaiwan, masuk wilayah Yaman. Khaiwan adalah induk dari bani Hamdan. Sedangkan berhala Nars dimiliki oleh kabilah Himyar yang dipegang oleh keluarga Dzil Kula’ di wilayah Himyar.

Berhala-berhala tersebut dibuatkan kuil khusus. Mereka memuliakan kuil-kuil ini seperti memuliakan Ka’bah. Ada juru kunci, tabir penutup khusus, atau kiriman sesaji sebagaimana yang ada di Ka’bah. Padahal, mereka tahu bahwa Ka’bah lebih mulia daripada tempat-tempat itu.

Kabilah-kabilah lain juga menempuh jalan serupa. Mereka membuat berhala yang mereka jadikan Tuhan dan membangun kuil untuk berhala-berhala itu. Di antaranya kuil Dzul Khalashah milik suku Daus, Khats’am dan Bajilah di Yaman, tepatnya di daerah Tabalah, antara Mekkah dan Yaman. Ada pula kuil Fils milik Bani Tha’ dan suku-suku sekitarnya, dibangun di antara bukit Tha’I, Salma, dan Aja’. Kemudian kuil Rayyam yang dibangun di Shan’a, milik ibn Sa’ad ibn Zaid, Manat ibn Tamim. Ada juga kuil Ka’ab milik Bani Bakar dan Taghlab, putra dari Wail dan Iyad, yang dibangun di Sandad.

Bani Daus memiliki berhala lain lain, yaitu Dzul Kaffain. Bani Bakar, Malik dan Mulkan keturunan dari Kinanah punya berhala bernama Saad. Berhala suku Udzrah dinamai Syam. Sementara itu, suku Khaulan memuja berhala bernama Umyanis.

Demikianlah berhala-berhala berikut kuilnya tersebar di seantero Jazirah Arab. Dapat dipastikan, setiap kabilah punya berhala sendiri. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, setiap rumah punya berhala, tidak Cuma itu, Masjidil Haram pun penuh dengan bermacam-macam berhala.

Ketika Rasulullah SAW menaklukkah Mekkah, Baitullah dihuni oleh 360 berhala. Beliau menghancurkan berhala-berhala itu sampai berkeping-keping lalu memerintahkan untk mengeluarkan semuanya dari dalam masid dan membakarnya.

Bagian dalam Ka’bah pun tak luput dari berhala dan lukisan. Ada berhala berwajah Ibrahim dan Ismail yang sedang memegang alat pengundi nasib. Sejak pembebsan kota Mekkah, semua berhala disingkirkan dan seluruh lukisan dihapus bersih-bersih.

Manusia saat itu asik dengan kesesatan-kesesatan macam itu. Abu Raja' al-Utharidi mengenang, 
"Suatu saat kami pernah menyembah batu. Ketika menemukan batu yang lebih bagus, kami pun mencampakkan batu pertama dan menggantinya dengan batu kedua yang lebih bagus. Kalau tidak menemukan batu sama sekali, kami membuat gundukan tanah kemudian menggiring kambing-kambing dan memerah susu di atasnya, kemudian kami mengelilinginya"

Singkat kata, kemusyrikan dan paganism merupakan adat dan tradisi paling fenomenal dari agama-agama orang jahiliyah, kendati demikian, mereka merasa masih mengikuti agama Ibrahim.

2. Ritual Ibadah Untuk Berhala

Adapun ritual ibadah terhadap berhala-berhala itu sekedar mengekor ritual ibadah ciptaan Amr ibn Luhay. Mereka menyakini ritual apapun yang diciptakan oleh Amr ibn Luhay sebagai perkara yang baik dan tidak mengubah agama  Ibrahim. Ritual-ritual itu misalnya sebagai berikut :
  1. Mengintari berhala, mohon perlindungan kepadanya tatkala menghadapi kesulitan. Mereka berdoa kepada berhala agar keinginan dan hajat mereka terkabul. Mereka melakukannya dengan keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa menolong di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka inginkan.
  2. Berjanji dan thawaf mengililingi berhala. Mereka tunduk dan sujud di hadapannya.
  3. Mempersembahkan aneka kurban. Mereka menyembelih ternak kurban di hadapan berhala atau menyembelih ternah atas nama berhala mereka di manapun.
  4. Mempersembahkan sesajian secara khusus berupa makanan, minuman, hasil panen, atau hewan ternak. 
  5. Bernazar untuk mempersembahkan sebagian hasil panen dan ternak mereka kepada berhala.
  6. Di antara unta mereka ada yang disebut bahirah,sa’ibah, washilah dan hami. Menurut Sa’id ibn Musayyab, bahirah adalah unta yang air susunya khusus dipersembahkan kepada berhala. Tidak seorangpun boleh memerahnya. Sementara itu, sa’ibah adalah unta yang di biarkan begitu saja untuk tuhan-tuhan mereka. Unta ini sama sekali tak boleh ditunggangi. Washilah adalah unta betina yang melahirkan anak pertama betina, disusul anak kedua betina pula. Unta itu dibiarkan begitu saja untuk berhala-berhala jika antara anak pertama dengan anak kedua yang sama-sama betina tidak dipisah dengan yang jantan. Hami adalah unta jantan yang mampu membuntingi betinya hingga sepuluh kali. Jika sudah genap sepuluh kali mereka menyerahkannya kepada berhala dan tidak lagi membebani atau menungganginya.

Begitu banyak kesesatan dan kebodohan di kala itu sehingga datanglah Islam sebagai cahaya kehidupan. Menyembah berhala hanyalah satu dari sekian banyak kesesatan dan kebodohan. Belum lagi dengan kasus asusila dan amoral lainya. Maka, jika kita belajar tentang bagaimana kehidupan sebelum datangnya Islam. Sungguh kita akan merasakan dan memahami bahwa "Islam adalah benar-benar agama rahmatan lil'alamin"

- Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah

Sunday 31 December 2017

Kenangan indah adalah umur kedua manusia setelah dirinya meninggal dunia. Pepatah melayu mengatakan, "Gajah mati meninggalkan gadingnya. Harimau mati meninggalkan taringnya. Dan manusia mati meninggalkan perbuatan baiknya."

Tidak diragukan lagi, kepergian Umar bin Abdul Aziz meninggalkan kenangan-kenangan manis dan indah dalam hati sanubari ummat Islam, bahkan sampai hari. Kepergian Umar bin Abdul Aziz meninggalkan kerinduan-kerinduan yang mendalam di lubuk jiwa ummat Islam, bahkan hingga hari ini. Terbukti bahwa ummat Islam hari itu hingga hari ini masih terus menerus merindukan muncul-nya sosok seorang pemimpin ummat sepertinya. Memerintah dengan adil dan bijaksana. Kokoh dalam menegakkan kebenaran. Tidak takut pada celaan orang-orang yang syirik. Tidak mudah layu menghadapi gelombang fitnah jabatan. Mengedepankan kepentingan ummat diatas kepentingan pribadi dan keluarga. Sehingga kesejahteraan dan keberkahan hidup akan dirasakan oleh semuanya.

Bagi siapapun orang yang merindukan kesejahteraan, maka sesungguhnya ia merindukan tampilnya seorang pemimpin besar seperti Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul Aziz di Mata Istri

Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, para ulama' besar dating berta'ziyah ke rumahnya. Disana ada Fathimah binti Abdul Malik.
"Kedatangan kami kesini untuk mengucapkan belasungkawa padamu atas kematian Umar. Sungguh, kesedihan ini merata dirasakan seluruh ummat. Ceritakan kepada kami –semoga Allah merahmatimu- tentang keseharian Umar. Bagaimana kesehariannya di rumah? Karena yang paling mengetahui tentang seseorang adalah keluarganya."
"Demi Allah, sungguh Umar bukanlah orang yang shalat dan puasanya lebih banyak daripada kalian. Tapi demi Allah, aku tak pernah melihat orang yang sangat takut pada Allah melebihi Umar. Demi Allah, tempat yang menjadi akhir kesenangan seseorang adalah keluarganya. Saat itu aku dan dia hanya terpisah selimut. Tiba-tiba terdetik dalam hatinya sesuatu dari perintah Allah. Seketika ia bangkit layaknya bangkitnya seekor burung jika jatuh kedalam air. Iapun terlihat sedih. Kemudian menangis dengan keras. Sampai-sampai aku katakan, "Demi Allah, seperti mau keluar nyawanya dari jasad.". Lalu ia menyingkap selimut yang menaungi kami. Karena saying padanya aku berkata, "Andaikata jarak kita dengan kepemimpinan ini sejauh jarah timur dan barat. Demi Allah, aku tak pernah melihat kesenangan sejak kami masuk kedalam (amanah kepemimpinan ummat ini)."
Kabar dari Nabi Khidhir

Saat itu Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur di Madinah. Rayyah bin Ubaidah melihatnya sedang berjalan dengan seorang kakek yang menyandarkan dirinya pada tangan Umar.
"Orang tua itu sungguh tidak sopan, bersandar pada tangan seorang gubernur." gumam Ray-yah pelan.
Aku berjalan mengikuti Umar yang berjalan memasuki masjid kemudian melaksanakan shalat. Selepas shalat, Rayyah mendekatinya dan berkata, "Semoga Allah selalu memperbaiki urusanmu, Amir? Sebenarnya, siapa kakek-kakek yang bersndar di tanganmu tadi?"
"Kamu melihatnya, Rayyah?"
"Ya."
"Dia itu saudaraku, Khidhir 'alaihimsalam, datang menemuiku untuk mengabarkan padaku bahwa nanti aku akan memegang urusan ummat dan aku akan adil didalamnya."

Umar dalam kenangan Maslamah bin Abdul Malik

Ketika Maslamah bin Abdul Malik melihat jasad Umar dibentangkan, ia berkata, "Semoga Allah merahmatimu. Sungguh, engkau telah lembutkan hati-hati yang keras, dan engkau selalu mengingatkan kami kepada orang-orang shalih."
Umar dalam Pandangan Sufyan ats-Tsauri

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Khulafaur Rasyidin itu ada lima; Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallohu 'anhum."
Umar dalam kenangan Makhul

Kata Makhul, "Aku tak pernah melihat orang yang paling zuhud dan takut kepada Allah melebihi Umar bin Abdul Aziz."
Umar dalam Kenangan Yazid bin Husyab

"Aku tak pernah melihat orang paling takut (pada Allah) melebihi Hasan Bashri dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka merasa sepertinya api neraka diciptakan hanya untuk mereka berdua saja."
Umar dalam Pandangan Para Pendeta Nashrani

Setelah menyaksian pemakaman jenazah Umar bin Abdul Aziz, Imam Auza'i pergi menuju kota Qinsirin. Ditengah jalan, ia bertemu dengan salah serang pendeta Nashrani.
"Hai, aku kira kamu hadir menyaksikan jenazah orang ini (Umar bin Abdul Aziz-pen)?" kata pendeta itu menyapa Imam Auza'i.
"Ya, aku telah menghadirinya."
Tiba-tiba mata pendeta itu berkaca-kaca kemudian menangis sesenggukan. Imam Auza'i merasa heran melihatnya menangis. Iapun bertanya, "Apa yang membuatmu menangis? Padahal kamu tidak seagama dengannya?"
Pendeta itu menjawab, "Sungguh, aku tidak menangisinya, namun aku menangisi padamnya cahaya yang menyinari bumi."
Umar dalam Kenangan Raja Romawi dan Para Komandan Pasukan

Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus serombongan utusan ke raja Romawi untuk sebuah urusan kemashlahatan ummat Islam, serta kebenaran yang hendak ia sampaikan kepadanya. Ketika para utusan masuk kedalam istana, ada seorang penerjemah sudah berada disana. Raja Romawi duduk diatas singgasananya. Mahkota bertengger mewah dikepalanya. Sedang disamping kiri dan kanannya ada beberapa pengawal. Orang-orang beruntut didepannya sesuai dengan jabatan mereka. Setelah maksud kedatangan disampaikan kepadanya, ia menanggapi dengan ramah dan menjawab dengan baik. Kemudian mereka meninggalkan ruangan pertemuan hari itu.
Mesjid Umayyah

Keesokan harinya, datanglah seorang utusan raja menemui para utusan Umar bin Abdul Aziz, meminta mereka untuk hadir di tempat pertemuan kemarin. Ketika mereka memasuki ruangan, mereka melihat posisi raja berubah tak seperti kemarin. Ia turun dari singgasananya. Mahkota me-wah dilepas dari kepalanya. Raut wajah dan bahasa tubuhnya sangat berbeda dengan kemarin. Seo-lah-olah ada musibah besar yang menimpanya.

"Tahukah kalian, kenapa aku memanggil kalian kesini?" tanya raja Romawi kepada para utusan Umar bin Abdul Aziz.
"Tidak tahu." jawab mereka.
"Sesungguhnya salah seorang dutaku di Arab telah mengirimkan surat yang mengabarkan bahwa, raja Arab yang shalih telah meninggal."

Para utusan Umar itupun tak kuasa membendung air matanya ketika mendapat berita, ternyata Umar yang mengutus mereka telah meninggal.
"Untuk apa kalian menangis? Untuk agama kalian atau untuknya?" tanya Raja Romawi.
"Kami menangisi diri kami, agama kami dan juga menangisinya." jawab para utusan Umar bin Abdul Aziz.
Raja Romawi berkata, "Janganlah kalian menangisinya. Tangisilah diri kalian. Sungguh ia telah meninggalkan kebaikan. Ia khawatir meninggalkan ketaatan pada Allah, karena itulah Allah tidak mengumpulkan dalam dirinya ketakutan pada dunia dan ketakutan pada-Nya. Telah sampai kepadaku kabar tentang keshalihannya, keutamaannya dan kejujurannya. Sungguh aku menyangka, kalau ada orang yang bisa menghidupkan orang mati setelah Isa, maka orang itu adalah Umar. Berita-berita tentangnya pun telah kuketahui, dengan teran-terangan maupun tidak. Maka aku ti-dak mendapati urusan hubungannya dengan Tuhannya kecuali satu hal, yaitu dalam kesendirian ia lebih meningkatkan ketaatannya pada Tuhannya. Aku tidak kagum pada para pendeta yang mereka meninggalkan dunia untuk menyembah Tuhannya di dalam ruang ibadahnya. Namun aku lebih mengagumi Umar yang mana dunia telah jelas ia miliki namun ia tetap tidak tergiur padanya, se-hingga seperti seorang pendeta. Sungguh, orang baik itu tidak banyak seperti banyaknya orang tidak baik."
Kesaksian Seorang Penggembala Kambing

Husain al-Qishar adalah orang yang pekerjaannya menjual domba pada masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz. Suatu hari ia, saat mencari domba, ia melewati seorang penggembala. Anehnya, diantara domba-domba itu ada sekitar tiga puluh serigala yang ketika itu Husain menyang-kanya anjing gembala.
"Hai penggembala, apa maksudmu dengan membawa anjing penjaga yang banyak ini?" tanya Husain penasaran.
"Wahai anak muda, sungguh itu semua bukan anjing penjaga, tapi serigala-serigala."
"Ooohh… Subhanallah!!! Ada serigala di tengah-tengah domba, apa tidak membahaya-kannya?!"
"Wahai anak muda,selama kepala dalam keadaan baik,maka tidak ada masalah pada badan. 
Maksud ungkapan terakhir penggembala adalah, jika pemimpinnya shalih, maka rakyatnya akan damai sejahtera.
Kesaksian Penggembala Kambing II

Musan bin A'yun berkata, "Kami biasa menggembala kambing di Karaman pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Demi Allah, adalah hal yang biasa domba dan serigala berada di satu tempat. Hingga suatu malam, ada seekor serigala memangsa domba. 
Lalu aku berkata, "Aku tidak melihat kecuali pasti orang shalih telah meninggal." Dan ternyata Umar bin Abdul Aziz meninggal pada ma-lam itu.
Selamat Jalan, Amirul Mukminin...

Jum'at, 20 Rajab, tahun 101 H. Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz pergi menghadap Sang Maha Pencipta. Setelah terbaring dalam sakit selama dua puluh hari. Saat itu usianya baru genap empat puluh tahun. Masih sangat muda. Namun jasa-jasanya untuk ummat Islam sudah sangat banyak.

Air mata ummat tertumpah dalam larutan kesedihan yang mendalam. Merindukannya bisa kembali hadir di tengah-tengah jaman. Bisa kembali memimpin. Bisa kembali memenuhi dunia dengan keadilan. Bisa selamanya mendampingi perjalanan ummat.

Dua puluh sembilan bulan lebih empat hari berlalu. Terasa begitu singkat, namun dalam waktu yang sesaat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengabdikan dirinya untuk ummat. Melayani masyarakat. Memprioritaskan rakyat. Dengan segenap keteguhan hati dan ketulusan niat.

Dua puluh sembilan bulan lebih empat hari berlalu. Menyisakan kenangan manis di hati ummat manusia, kawan maupun lawan. Sudah terlalu mendalam nama Umar bin Abdul Aziz terpatri di sanubari rakyat. Terlalu indah pula untuk sekedar dilupa dari ingatan.

Dalam dua puluh sembilan bulan lebih empat hari, wajah dunia Islam kembali berseri, setelah sekian lama menantikan percikan embun suci dari tangan pemimpin surgawi. Setiap desah nafasnya adalah ibadahnya. Setiap tetesan peluhnya adalah jihadnya. Sehingga rakyat merasakan keberkahan kepemimpinannya.

Selamat jalan Amirul Mukminin. Selamat jalan sang guru pembaharuan. Semoga Allah merahmatimu di alam sana.

Pesan Terakhir Umar untuk Ummat Islam

Di Kota Khanashiroh, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyampaikan khutbahnya. Dan ternyata khutbah itu adalah pesan terakhirnya untuk ummat Islam.

"Wahai sekalian manusia, sungguh kalian tidak diciptakan dengan sia-sia. Dan kalian tidak di-biarkan begitu saja. Kalian memiliki tempat kembali, dimana Allah akan turun kesana untuk mengadili dan membuat perhitungan dengan kalian. Sungguh benar-benar gagal dan merugi bagi orang yang keluar dari rahmat Allah, padahal rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Dan juga bagi orang yang diharamkan surga atasnya, padahal luasnya surga seluas langit dan bumi.

Ketahuilah, bahwa jaminan keamanan esok hanyalah bagi orang takut pada Allah, yang men-jual sesuatu yang sesaat untuk kehidupan abadi, dan yang menjual sesuatu yang sedikit untuk men-dapatkan yang lebih banyak kelak, serta orang yang menjual rasa takutnya dengan keamanan yang dijanjikan padanya.

Tidakkah kalian melihat bahwa diri kalian tengah berada di tengah-tengah orang mati? Setiap hari kalian berta'ziah mengunjungi orang yang telah menghadap Allah. Ia telah habis ajal hidupnya. Kemudian kalian menanamnya ke dalam tanah dan meninggalkannya tanpa bantal dan tikar. Ia telah berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, melepas semua urusan, diam dalam timbunan tanah, untuk mengahadapi perhitungan. Ia harus mempertanggungjawabkan semua amalannya, miskin amal dan kaya maksiat.

Maka takutlah kalian pada Allah sebelum datangnya kematian. Demi Allah, aku tidak menga-takan ini melainkan aku merasa tidak ada orang yang dosanya lebih banyak dari dosaku. Maka aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Tidaklah salah seorang diantara kalian yang keperluannya sampai kepadaku melainkan aku berharap sekali bisa membantunya semampuku. Dan tidak pula seseorang diantara kalian yang akan merasa lapang dengan apa yang kami miliki melainkan akan kuberikan padanya sekalipun dagingku ini. Dengan begitu, aku berharap hidupku dengannya sama.

Demi Allah, seandainya aku menghendaki kemewahan hidup, maka sungguh lisanku akan tunduk karena mengetahui sebab-sebabnya. Namun Allah telah memberikan kitab yang bicara dan sun-nah yang adil, menunjukkan kepada kita untuk menta'ati-Nya, dan melarang kita dari bermaksiat pada-Nya."

Kemudian Umar bin Abdul Aziz mengangkat ujung selendangnya, menangis sesenggukkan. Orang-orang yang hadir di sekitarnya pun ikut menangis. Sungguh, kalimat-kalimat jujur yang keluar dari lubuk hati tentu akan sampai ke hati orang yang mendengarnya pula. Dan setelah ini, Umar ti-dak lagi berkhutbah di hadapan masyarakat.

Detik-detik Menjemput Ajal

Ketika Umar bin Abdul Aziz merasa ajal akan segera tiba, ia berkata kepada orang-orang yang menunggunya, "Keluarlah kalian semua, jangan ada yang berada disini."

Orang-orang pun pada keluar. Sedang Maslamah bin Abdul Malik dan istri Umar, Fathimah binti Abdul Malik, yang juga saudara Maslamah, berdiri menunggu di depan pintu. Ketika saat-saat menegangkan itu tiba, mereka mendengar Umar bin Abdul Aziz berkata, "Selamat dating wahai wa-jah-wajah yang bukan tampang manusia maupun jin."

Dalam riwayat yang lain, Fathimah berkata, "Aku mendengar Umar berkata pada saat terbar-ing sakit, "Ya Allah, ringankanlah beban mereka melepas kepergianku, walau hanya sesaat." Ke-mudian ketika ajal hendak menjemputnya, aku keluar meninggalkannya dan duduk di tempat yang hanya dibatasi oleh pintu. Kemudian aku mendengarnya berkata, "Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. al-Qashash: 83). Sete-lah itu suasana tenang. Aku tak mendengar suara apapun dari dalam kamar. Lalu aku menyuruh Washif, salah seorang pembantu untuk melihatnya di dalam. Sesaat setelah masuk ia berteriak. Ak-upun segera menyusul masuk. Ternyata ia telah meninggal dengan keadaan wajahnya menghadap kiblat dengan menutup kedua matanya dengan salah satu tangannya dan menutup mulutnya den-gan tangan yang satunya."

Sumber : Herfi Ghulam Faizi, Lc