Blog ini berisi sirah atau sejarah atau kisah-kisah islam yang mengispirasi, renungang, amalan, serta kesehatan

Friday 30 March 2018

Muhammad al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.

Sultan Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, ia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.
Rumeli Hisari Fortress, Bosphorus, Istanbul, Turkey
Rumeli Hisari Fortress, Bosphorus, Istanbul, Turkey


Karakter Pemimpin Yang Ditanamkan Sejak Kecil

Muhammad al-Fatih dilahirkan pada 27 Rajab 835 H/30 Maret 1432 M di Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia adalah putra dari Sultan Murad II yang merupakan raja keenam Daulah Utsmaniyah.

Sultan Murad II memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anaknya. Ia menempa buah hatinya agar kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Perhatian tersebut terlihat dari Muhammad kecil yang telah menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz, mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu falak, dan strategi perang. Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai bahasa, seperti: bahasa Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Tidak heran, pada usia 21 tahun Muhammad sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, dan Yunani, luar biasa!

Walaupun usianya baru seumur jagung, sang ayah, Sultan Murad II, mengamanati Sultan Muhammad memimpin suatu daerah dengan bimbingan para ulama. Hal itu dilakukan sang ayah agar anaknya cepat menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar di kemudian hari. Bimbingan para ulama diharapkan menjadi kompas yang mengarahkan pemikiran anaknya agar sejalan dengan pemahaman Islam yang benar.

Menjadi Penguasa Utsmani

Sultan Muhammad II diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Program besar yang langsung ia canangkan ketika menjabat sebagai khalifah adalah menaklukkan Konstantinopel.

Langkah pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan cita-citanya adalah melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Ia memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya. Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer.

Menaklukkan Bizantium

Sultan Muhammad II juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan mengepung Konstantinopel dari darat. Pada saat mengepung benteng Bizantium banyak pasukan Utsmani yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut. Pengepungan yang berlangsung tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Utsmani, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.

Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula. Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.

Akhirnya Sultan Muhammad menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut. Ide ini mirip dengan yang dilakukan oleh para pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10, para pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi. Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam.

Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.
Tanduk Emas atau Golden Horn
Tanduk Emas atau Golden Horn
Peperangan dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan Bizantium itu akhirnya diserang oleh orang-orang yang tidak takut akan kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum muslimin. Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur. Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itulah ia dikenal dengan nama Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel.

Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid. Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan menjadi Istanbul
Peradaban Yang Dibangun Pada Masanya

Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri.

Sultan Muhammad juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari

Wafatnya Sang Penakluk
 

Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan. Dokter pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, Allahu a’lam.

Tidak ada keterangan yang bisa dijadikan sandaran kemana Sultan Muhammad II hendak membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.

Sebelum wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.

Semoga Allah membalas jasa-jasamu wahai Sultan Muhammad al-Fatih…

Source : Muhammad al-Fatih, Penakluk Konstantinopel

Tuesday 20 March 2018

Alkisah, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai penggembala domba. Jumlah domba yang dia gembalai berjumlah ratusan ekor. Bertahun-tahun dia bekerja tanpa pernah mengeluh meski hasil jerih payahnya tak seberapa.

Suatu ketika, datang seorang musafir yang sangat kehausan setelah menempuh perjalanan jauh. Melihat ada pengembala domba tersebut, gembiralah hati musafir itu. Sang musafir meminta minum kepada si pemuda penggembala tersebut. Namun, pemuda itu menjawab bahwa dirinya tak punya air minum untuk diberikan kepada si musafir.

Musafir tersebut kemudian memohon memelas agar diizinkan mengambil air susu dari seekor domba yang digembalakan si pemuda itu. Pemuda tersebut menolak dengan halus. “Ayolah, saudaraku. Tolonglah aku. Aku sangat haus. Izinkan aku untuk memerah dombamu sekadar beberapa teguk untuk menghilangkan dahagaku,” ujar sang musafir. Pemuda itu menjawab, “Domba-domba ini bukan kepunyaanku, aku tak berani mengizinkan engkau sebelum majikanku mengizinkannya.”

Pemuda mengatakan, “Kalau kau mau, tunggulah di sini sebentar. Kucarikan telaga dan kuambilkan air untukmu, saudaraku.” Kemudian, pergilah pemuda tersebut mencarikan air untuk sang musafir. Setelah dapat, diberikannya air itu kepada si musafir. “Alhamdulillah, segar sekali rasanya,” kata sang musafir. “Terima kasih wahai anak muda,” lanjut musafir itu.

Kemudian, mereka sejenak beristirahat sambil berbagi kisah. Siang semakin terik. “Mengapa kau tadi tidak ikut minum,” tanya musafir kepada pemuda tadi. “Maaf, saya sedang berpuasa,” jawab si pemuda. Musafir itu tercengang mendengar pengakuan pemuda tersebut. “Matahari semakin tinggi, sedangkan engkau berpuasa?” tanya musafir itu penuh tanya. Pemuda itu menjawab, “Aku berharap kelak mudah-mudahan Allah menaungi diriku pada saat hari kiamat nanti. Karena itu, aku berpuasa.”
Bolehkah Aku Membeli Seekor Saja Dombamu

Rasa kagum dan penasaran membuat si musafir ingin mengetes keimanan sang pemuda penggembala tersebut. Lalu, musafir itu berkata, “Hai anak muda, bolehkah aku membeli seekor saja dombamu. Aku lapar, tolonglah aku.”

“Maaf tuan, aku tidak berani sebelum mendapat izin dari majikanku,” kata pemuda itu.

“Ayolah anak muda. Domba yang kau gembalakan sangat banyak. Tentulah tuanmu tidak akan mengetahui meski kau jual seekor saja. Perutku sangat lapar, tolonglah aku,” rayu musafir tersebut.

“Aku sungguh ingin menolongmu. Kalau saja aku memiliki makanan, tentu akan kuberikan untukmu, tuan. Tapi, tolong jangan paksa aku untuk melakukan hal yang tak mungkin aku lakukan tuan,” ucap pemuda tersebut.

“Tidak akan ada yang tahu hai anak muda. Kuberikan seribu dirham untukmu untuk seekor domba saja. Ayolah. Tidakkah kau kasihan kepadaku?” kata musafir itu yakin bahwa pemuda tersebut akan goyah dengan suap seribu dirham.

Musafir itu terus memaksa si pemuda untuk menjual seekor dombanya. Bahkan, musafir itu tambah gusar dan marah.
Akhirnya, pemuda itu berkata, “Majikanku bisa saja tidak tahu jikalau aku menjual seekor dombanya. Sebab, jumlahnya sangat banyak. Dan mungkin saja, majikanku tidak akan menanyakan domba-dombanya. Dia tidak akan rugi meski aku menjual seekor di antara domba kepunyaanya. Tapi, kalau aku berbuat begitu, lalu di mana Allah? Di mana Allah? Di mana Allah? Sungguh, aku tak mau di dalam dagingku tumbuh duri neraka karena uang yang tidak halal bagiku.”

Pemuda itu menangis karena takut tergoda berbuat sesuatu yang dimurkai Allah. Dia menangis karena kecintaanya kepada Allah.

Musafir tersebut tertegun. “Allahu akbar!!” musafir itu ikut menangis.

“Katakan padaku wahai anak muda, di mana majikanmu tinggal. Aku ingin membeli seekor dombanya,” kata musafir tersebut.

Setelah mendapat jawaban tentang tempat tinggal majikan pemuda tadi, musafir itu memberikan uang seribu dirham tadi kepada si pemuda. “Terimalah uang ini untukmu, anakku. Ini uang halal. Kau pantas mendapatkan lebih daripada ini. Hatimu begitu mulia.” Sang musafir yang tak lain adalah Khalifah Umar bin Khattab bergegas menuju ke rumah majikan sang pemuda tadi. Lalu, ditebuslah pemuda itu dengan memerdekakannya dari status hamba sahaya.

Kisah lainnya : Abdul-Malik : Wahai Ayah, Siapa yang Menjamin Engkau Akan Masih Hidup Sampai Waktu Zuhur?

Dalam lanjutan perjalanannya, Umar masih takjub dengan kisah yang baru dia alami.

Di mana Allah? Inilah kalimat yang menggetarkan hati Umar. Rasa takut kepada Allah tidak menggoyahkan iman seorang pemuda tadi meski dirayu dengan materi. Duniawi tidak mampu menyilaukan hati pemuda itu karena keteguhan iman yang hakiki.

Sumber :  Bolehkah Aku Membeli Seekor Saja Dombamu

Monday 5 March 2018

Disfungsi khalifah Doktor Studi Islam University of Leiden Belanda Ali Mufrodi dalam buku yang berjudul Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menjelaskan, pada abad ke-20 nasionalisme Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Ataturk tumbuh di wilayah Ustmani atau Turki Ottoman.

Nasionalisme Turki menyebabkan Kerajaan Ustmani terpuruk dari panggung sejarah pada 1924 dan digantikan dengan Turki modern yang berbentuk republik yang sekuler. Saat itu, Mustafa Kemal berpendapat dalam sidang Majelis Nasional Agung tahun 1922, jabatan sultan dan khalifah terpisah dalam sejarah. Khalifah berada di Baghdad, sedangkan sultan di daerah.

Maka, jabatan yang dipegang oleh penguasa Turki harus dipisah, sultan dihilangkan, tapi khalifah dipertahankan.

Usul tersebut diterima oleh Majelis Nasional Agung pada 1 November 1922, sehingga raja Turki hanya bergelar khalifah yang mengurusi masalah spiritual saja tanpa berkuasa atas urusan duniawi.

Sultan Muhammad VI Wahiduddin tidak setuju terhadap keputusan Majelis Nasional tersebut, sehingga dituduh sebagai pengkhianat oleh pihak nasionalis. Ia kemudian meninggalkan Istanbul. Sementara itu, kaum nasionalis mengangkat saudara sepupu Wahiduddin, yakni Abdul Majid sebagai khalifah.
Mustafa Kemal
Mustafa Kemal

John Freely dalam tulisannya yang berjudul Inside the Seraglio menuturkan, setelah Majelis Nasional Agung Turki menghapus kesultanan pada 1 November 1922, Sultan Mehmed diusir dari Konstantinopel. Ia meninggalkan Turki menggunakan kapal-kapal perang Inggris Malaya pada 17 November. Ia pergi ke pengasingan di Malta. Mehmed kemudian tinggal di Riviera, Italia.

Dengan penghapusan jabatan Sultan, dualisme kepemimpinan duniawi sudah tidak ada lagi. Kedaulatan berada di tangan Majelis Nasional Agung dan kekuasaan eksekutif berada di bawah Majelis negara. Khalifah Abdul Majid hanya berkedudukan sebagai lambang bagi Turki yang bersifat Islam.

Masalah yang muncul setelah itu ialah mengenai bentuk negara. Karena kedaulatan Turki sudah berada di tangan rakyat menurut Konstitusi 1921, negara harus berbentuk republik sebagaimana dikehendaki para tokoh nasionalis. Tetapi, kelompok Islam tidak setuju.

Mereka masih mempertahankan bentuk khilafah daripada bentuk lain. Majelis Nasional Agung memutuskan dalam sidangnya pada 29 Oktober 1923 bahwa Turki menjadi republik dan megangkat Mustafa Kemal menjadi presiden yang pertama.

Meskipun keputusan tersebut tidak disetujui oleh golongan Islam, mereka merasa puas dengan usulannya bahwa Islam adalah agama negara.

Dengan pengangkatan Mustafa Kemal menjadi presiden Turki maka terjadilah dualisme kepemimpinan di Turki. Di satu pihak, Abdul Majid sebagai khalifah didukung oleh umat Islam di Turki dan umat Islam di dunia yang ingin tetap mempertahankan khalifah.

Mustafa Kemal ingin menghapuskan jabatan khalifah dengan alasan bahwa jabatan tersebut merupakan milik umat Islam seluruh dunia. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika dibebankan hanya kepada Turki. Maka, ia mengusulkan supaya jabatan khalifah dihapuskan dari Turki yang sudah menjadi republik.

Dari hari ke-hari, kedudukan Mustafa Kemal semakin kuat di mata rakyat. Dalam kedudukannya sebagai panglima dari semua pasukan yang ada di Turki selatan Mustafa Kemal membentuk pemerintahan tandingan di Anatolia sebagai imbangan terhadap kekuasaan Sultan Abdul Majid II di Istanbul. Hal ini dilakukannya karena ia melihat Sultan sudah berada di bawah kekuasaan sekutu.

Majelis Nasional Agung dalam sidang sejak Februari 1924 membicarakan hal tersebut dengan perdebatan yang sengit dan akhirnya memutuskan untuk menghapus jabatan khalifah pada 3 Maret 1924. Abdul Majid II yang menjabat khalifah dipersilakan meninggalkan Turki. Ia bersama keluarganya menuju Swiss. Dengan demikian, dualisme kepemimpinan di Turki dapat teratasi. 

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Sunday 4 March 2018

Upaya menghancurkan Kekhalifahan Utsmani terus disusun Barat. Konspirasi untuk memaksa Sultan Abdul Hamid II, sultan terakhir Khalifah Utsmani untuk turun dari takhta pun gencar dilakukan. Bangsa Yahudi yang berulang kali diusir karena ngotot ingin tinggal di tanah Palestina berada di balik konspirasi tersebut.

Masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II dipenuhi dengan berbagai macam konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah upaya-upaya sistematis yang dilakukan kaum Yahudi untuk mendapatkan tempat tinggal permanen di tanah Palestina, yang pada masa dirinya berkuasa, wilayah itu merupakan bagian dari wilayah kekhalifahan Turki Utsmani.

Sebagaimana dikisahkan dalam buku “Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II” karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina. Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab sultan dengan tegas.

Pemerintah Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.

Kedua, Theodor Hertzl, si Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di Al-Quds. Permohonan itu dijawab Sultan dengan penolakan.

“Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri,” tegas Sultan.

Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah.

pasukan turki utsmani
Prajurit Ottoman yang berhasil mempertahankan Gaza dalam pertempuran pertama di Gaza.
Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina. Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut.

Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; membayar semua utang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; memberi pinjaman lima juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.

Namun, semuanya ditolak Sultan. Bahkan, Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, “Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam.”

“Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya.”

“Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya.

“Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggung jawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini, di Istanbul,” tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID
3 Maret 1924, khalifah terakhir itu resmi dibubarkan. Hari ini, 94 tahun silam Khalifah Utsmani atau Kesultanan Turki Ustmani (Ottoman) runtuh. Islam yang pernah berjaya di Eropa dan menguasai dua per tiga dunia dihapuskan dalam tata dunia pada 3 Maret 1924. Sejak itu, umat Islam tidak lagi dinaungi khilafah dan tercerai berai menjadi lebih dari 50 negara. Umat Islam seperti tidak punya tempat mengadu setelah terpecah.
Khalifah Utsmaniyah
Ilustrasi suasana di Kerajaan Ottoman.
Kekhalifan Islam terakhir itu dihancurkan secara sistematis oleh negara-negara Barat yang memupuk dendam dengan Khilafah yang didirikan ErtuÄŸrul Gazi tersebut. Kita mulai dari sultan Kekhalifahan Utsmani terakhir sebelum berganti menjadi Republik Turki, yakni Sultan Abdul Hamid II.

Kejayaan Islam di Eropa ditandai dengan berkembangnya kedaulatan Khalifah Utsmani yang selama berabad-abad berhasil menancapkan pengaruhnya di Eropa Timur, Balkan, dan Mediterania. Namun, pada akhir abad ke-19 M, pengaruh itu berangsur pudar. Menjelang masa-masa kejatuhan kekhilafahan Islam terakhir ini, muncul pemimpin Kesultanan Turki Utsmani yakni Sultan Abdul Hamid II.

Dengan segala daya yang ada, ia mencoba untuk terus mempertahankan tegaknya ajaran Islam di wilayah kekuasaannya dari berbagai macam bahaya yang mengancam, khususnya kekuatan Barat dan Yahudi. Sultan Abdul Hamid II dilahirkan di Istanbul, Turki, pada Rabu, 21 September 1842. Nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin Abdul Majid bin Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad.

Dia adalah putra Abdul Majid dari istri kedua. Ibunya meninggal dunia saat Abdul Hamid berusia tujuh tahun. Sultan Hamid II menguasai bahasa Turki, Arab, dan Persia. Ia juga dikenal senang membaca dan bersyair. Abdul Hamid menjadi khalifah Turki Utsmani menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada 1876. Pamannya yang berkuasa cukup lama ini diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah, kemudian dibunuh musuh politik Kesultanan Turki Utsmani.

Sang paman mewariskan negara dalam kondisi yang carut-marut. Tunggakan utang luar negeri, parlemen yang mandul, campur tangan asing di dalam negeri, tarik-menarik antarberbagai kepentingan di dalam tubuh pemerintahan, serta birokrat-birokrat yang korup.

Tak lama setelah naik takhta, dia mendirikan Dewan Majelis Rendah. Anggota dewan ini ada yang dipilih dan ada pula yang anggotanya ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Dewan yang anggotanya dipilih dinamakan Dewan Mab'utsan, sedangkan dewan yang anggotanya ditentukan oleh pemerintah namanya A'yan.

Sebagai seorang pemimpin, Sultan Hamid II dikenal dekat dengan ulama dan selalu menaati nasihat-nasihat mereka. Dia menganggap semua rakyat sama di hadapan undang-undang, juga memberikan kebebasan pers. Dia membuat peraturan wajib belajar kepada semua rakyat. Semasa memerintah, ia menghapus peraturan yang memperbolehkan polisi untuk menyiksa tahanan dalam masa investigasi dan menghapuskan peraturan pengambilan paksa tanah milik rakyat dan kerja paksa.

Dia juga menolak untuk memecat seorang hakim tanpa alasan yang benar. Selain itu, dia juga memberantas korupsi dan suap. Dia sangat serius dalam menerapkan hukum yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam hal kemaslahatan umat, Sultan Abdul Hamid II mengajak umat untuk mendirikan sebuah universitas Islam. Ia juga memerintahkan pendirian sekolah-sekolah, rumah-rumah dinas bagi para dosen, akademi politik dan kesenian wanita, museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, sekolah kedokteran, rumah sakit spesialis anak, perumahan bagi orang-orang yang tidak mampu, kantor pos pusat, ruang-ruang pertemuan, beberapa organisasi petani dan buruh serta pabrik-pabrik keramik. Selain itu, dia juga memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air minum.

Source : REPUBLIKA.CO.ID